Sirah Shahabiyah - Khadijah (2)
Pernikahan yang penuh berkah
Ibnu Ishaq berkata, “Khadijah binti
Khuwailid adalah seorang saudagar wanita yang sangat terhormat dan kaya raya. Ia biasa mempekerjakan beberapa laki-laki untuk
menjalankan perniagaannya dan memberi upah kepada mereka dalam bentuk bagi
hasil. Masyarakat Quraisy adalah masyarakat pedagang. Ketika Khadijah mendengar
tentang sifat-sifat Nabi saw. yang terpuji, seperti jujur dalam berbicara,
pandai menjaga amanah, dan berakhlak mulia, maka ia segera mengirimkan orang
kepada beliau untuk menyampaikan tawarannya untuk menjalan perniagaannya ke
Syam dengan imbalan yang lebih besar dari biasanya dan ditemani oleh seorang
pelayannya yang bernama Maisarah.
Rasulullah
saw. menerima tawaran tersebut dan tidak lama kemudian bertolak menuju Syam
dengan membawa kafilah dagang Khadijah. Selama dalam perjalanan, Rasulullah
saw. ditemani oleh pelayan Khadijah yang bernama Maisarah hingga sampai di
Syam.
Setibanya
di Syam, Rasulullah saw. menjual barang-barang dagangan yang dibawanya dan
hasilnya dibelikan barang-barang yang tersedia di daerah itu. Kemudian, beliau
kembali ke Makkah bersama Maisarah. Setelah sampai di Makkah dan menyerahkan
barang dagangan kepada Khadijah, maka Khadijah menjual barang-barang yang
dibawa oleh beliau dari Syam. Ternyata, kali ini Khadijah mendapatkan
keuntungan yang sangat besar hingga mencapai dua kali lipat atau sekitar itu.
Khadijah
merenungkan dan memikirkan perihal Muhammad. Alhasil, ia menyimpulkan bahwa
Muhammad adalah sosok laki-laki yang cocok dan menjadi idamannya selama ini.
Berbagai
fakta dan bukti menunjukkan bahwa Muhammad adalah orang yang paling pantas
menyandang risalah sebagai nabi terakhir. Sejak itu, Khadijah berharap dapat
menjadi istri Muhammad. Khadijah menemukan potret laki-laki yang berbeda dalam
diri Muhammad. Ia menemuka sosok yang tdak diperbudak oleh harta. Barangkali,
ketika mengevaluasi orang-orang yang pernah mengendalikan perniagaannya, ia
menemukan sifat-sifat kikir dan mencari-cari celah untuk mendapatkan penghasilan
tambahan. Berbeda dengan Muhammad, ia adalah orang yang dengan kehormatannya
telah menunjukkan perbuatan yang mulia dan mau berkorban. Muhammad tidak
tergiur dengan hartanya dan tidak pula dengan kecantikannya. Hal ini terbukti
setelah menyelesaikan tugas dan menyerahkan barang-barang dagangan kepada
Khadijah, ia langsung pergi dengan perasaan puas atas imbalan yang diterimanya.
Di
tengah kebingungan dan dan kerisauannya, datanglah seorang sahabat karib
Khadijah yang bernama Nafisah binti Munabbih. Ia duduk di samping Khadijah dan
mulai terlibat perbincangan yang hangat. Setelah sekian lama berbicara, Nafisah
berhasil menangkap hasrat tersembunyi di balik nada bicara dan raut muka
Khadijah. Nafisah berhasil mengungkapkan kerisauan Khadijah. Setelah keluar
dari rumah Khadijah, Nafisah langsung menjumpai Muhammad dan membujuknya agar
mau menikah dengan Khadijah.
Nafisah
berkata, “Wahai Muhammad, apa yang menghalangimu untuk segera menikah?”
Muhammad menjawab, “Aku tidak memiliki bekal (harta) untuk menikah.” Nafisah
berkata, “Bagaimana jika harta tidak dianggap menjadi masalah dan ada yang
menawarkan kepadamu kekayaan, kecantikan, kemuliaan, dan kesetaraan. Apakah
engkau mau menikahinya?” Dengan penuh keheranan, Muhammad bertanya, “Siapakah
dia?” Nafisah langsung menjawa, “Khadijah binti Khuwailid” Muhammad berkata, “Seandainnya
dia benar-benar menawarkan hal itu kepadaku, tentu aku akan menerimanya.”
Dengan
sangat girang, Nafisah segera menemui Khadijah untuk menyampaikan kabar gembira
tersebut. Sedangkan Nabi saw. menemui paman-pamannya untuk menyampaikan
keinginannya menikah dengan Khadijah. Singkat cerita, Abu Thalib, Hamzah, dan
paman-paman Nabi saw. lainnya menemui paman Khadijah, ‘Amr bin Asad untuk
menyampaikan pinangan Muhammad kepada Khadijah sambil membawa shadaaq (mahar).
Dalam
pertemuan yang sederhana tersebut, Abu Thalib menyampaikan pidatonya. Dalam
sebuah riwayat dikatakan, “Dia telah menyerahkan mahar perkawinannya sebesar
12,5 uqiyah emas.”
Abu
Thalib menutup pidatonya dengan mengatakan, “Demi Allah dia (Muhammad) akan
memiliki peran yang sangat besar dan kedudukan yng agung di masa mendatang,
maka terimalah pinangannya untuk menikah dengan Khadijah.
Akad
nikahpun dilangsungkan, hewan-hewan yang telah disiapkan disembelih dan
dagingnya dibagi-bagikan kepada kaum fakir. Rumah Khadijah dibuka untuk
menerima ucapan selamat dari segenap keluarga dan kerabat.
Saat
iitu, sang wanita suci, Khadijah ra berusia 40 tahun yang merupakan usia matang
seorang ibu, sedangkan Muhammad berusia 25 tahun yang merupakan usia matang
seorang pemuda. Setelah melangsungkan pernikahan yang penuh barakah tersebut,
Khadijah ra menunjukkan dirinya sebagai seorang istri yang sangat mencitai
suami sekaligus sebagai ibu yang sangat penyayang, lembut, dan baik terhadap
anak-anaknya.
sumber (25 sirah shahabiyah, Mahmud Al-Mishri)
Komentar
Posting Komentar
Komentarlah dengan hal-hal yang positif :D