Tingkatkan Peran Pendidikan dan Orang Tua untuk Mencegah Perilaku Seks Menyimpang
Oleh : Ivo Rahmadini Lubis
Benarkah Mahkamah
Konstitusi melegalkan LGBT? Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas permohonan
uji materi Pasal 284, Pasal 285 dan Pasal 292 KUHP dalam perkara nomor
46/PUU-XIV/2016 menuai kontroversi. Lima dari sembilan hakim memberikan
penolakan terhadap permohonan para pemohon sehingga dalam Sidang Pleno Mahkamah
Konstitusi, 14 Desember 2017 lalu dihasilkan putusan yaitu menolak permohonan
para pemohon seluruhnya. Permohonan Prof Euis Sunarti tak lain menyikapi
maraknya Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) dan seks bebas di
Indonesia sehingga perlu perubahan dalam KUHP yang sudah tak sesuai jaman lagi.
Penolakan tersebut membuat masyarakat
digegerkan berdasarkan opini LGBT dilegalkan oleh MK. Akibatnya, timbul
pergolakan di masyarakat yang kontra terhadap putusan MK tersebut. Masyakarat
menilai MK seharusnya memihak mayoritas daripada penyandang LGBT yang
minoritas. Belum lagi jika dikaitkan dengan norma agama yang berlaku di
Indonesia tidak ada satu pun yang menyetujui perbuatan seks menyimpang itu.
Tidak ada yang salah
dengan reaksi masyarakat dengan hasil putusan MK. Masyarakat menjadi tersadar
dengan bahaya LGBT dan seks bebas di Indonesia kian meningkat tanpa ada status
hukum yang jelas. Perilaku menyimpang LGBT akan meningkatkan penderita HIV/AIDS
karena 1 dari 3 penderitanya berasal dari pelaku LGBT. Selain LGBT yang juga
mengkhawatirkan adalah seks bebas remaja atau orang yang belum menikah dengan IPW
menyatakan tercatat ada 178 bayi yang dibuang selama tahun 2017 di berbagai
daerah di Indonesia menandakan kasus seks bebas masih tinggi (sumber panjimas.com).
Kekhawatiran ini menimbulkan desakan untuk diberlakukannya aturan yang ketat
terhadap LGBT dan seks bebas sehingga pelakunya jera. Guru Besar IPB, Euis
Sunarti menyatakan pihaknya merasa persoalan ini begitu urgen sehingga jika
diberikan pada DPR akan memakan waktu lama sehingga menempuh jalur judicial review ke MK tahun 2016 lalu. Sayangnya,
menurut Hakim, kewenangan yang diminta pemohon sudah melampaui apa yang menjadi
kewenangan MK yaitu sebagai positif legislator. Padahal MK adalah negatif
legislator. Kewenangan membuat, merumuskan, mengesahkan peraturan baru adalah
dari ranah legislatif yaitu DPR. Kemudian, bukan berarti dengan ditolaknya
putusan tersebut membuat MK seperti melegalkan LGBT dan seks bebas. Inilah
persepsi yang salah oleh publik sehingga menimbulkan pergolakan tadi. MK hanya
menjalankan tugasnya yaitu menguji undang-undang ke UUD 1945 dan memberikan
putusan berupa penolakan permohonan, penerimaan permohonan atau menerima sebagian.
Kekosongan hukum untuk pelaku LGBT dan seks bebas ini seharusnya kita arahkan
kepada yang berwenang yaitu DPR selaku pembuat hukumnya bukan pada MK.
Alur yang panjang dalam
pembuatan UU membuat lamanya waktu yang dibutuhkan untuk mengesahkan produk hukum.
Peraturan Hukum Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) masih
menggunakan peninggalan Belanda tahun 1946 silam sementara jelas dinamika
kehidupan sosial telah berubah sehingga memerlukan hukum baru. Masyarakat tak
bisa hanya duduk diam menunggu hasil sidang DPR untuk pengesahan RUU KUHP atau
menunggu RUU LGBT dibuat. Tindakan preventif dan represif untuk mencegah
merebaknya LGBT dan seks bebas harus digencarkan mulai dari tingkat keluarga
hingga nasional. Kasus LGBT dan seks bebas seperti gunung es yang baru sedikit
nampak di permukaan sementara itu yang tidak terungkap sangat banyak bahkan
belum terdata. Bicara soal kerugian negara adalah pada generasi masa depannya.
Bagaimana mungkin kita dapat mengharapkan kegemilangan masa depan Indonesia
sementara narkoba, miras, seks bebas dan LGBT menjadi bayang-bayang yang dapat
sewaktu-waktu menghancurkan. Oleh karena itu, peran pendidikan dan keluarga menjadi
sorotan penting dalam memperbaiki tatanan sosial.
Lahirnya Kurikulum 2013
menjadi angin segar bagi pendidikan di Indonesia dalam mencapai tujuan
pendidikan nasional karena kurikulum ini diyakini dapat menghasilkan insan
Indonesia yang: produktif, kreatif, inovatif, afektif melalui penguatan sikap,
keterampilan dan pengetahuan yang terintegrasi. Siswa tidak hanya dituntut
untuk cerdas secara IQ namun juga EQ dan SQ sehingga manusia yang dibentuk
adalah manusia yang bertaqwa kepada Tuhan YME berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab. Semua persoalan narkoba, miras, LGBT dan seks bebas terjawab
sudah apabila implementasi dari kurikulum 2013 ini benar-benar diawasi secara
ketat oleh pemerintah. Guru bukan hanya menilai kognitif siswa namun juga
psikomotorik dan afektif. Apabila terdapat kejanggalan dalam tingkah laku siswa
di sekolah, guru dan orang tua/wali siswa dapat langsung membahas permasalahan
yang dialami siswa dan menentukan langkah konkrit penyelesaiannya. Peranan guru
bidang studi agama dan kewarganegaraan terutama sangat penting dalam menanamkan
nilai-nilai. Waktu yang digunakan anak-anak di sekolah lebih banyak daripada di
rumah bersama orang tua sehingga sekolah harus pro aktif untuk merancang dan
membentuk karakter siswa-siswanya sesuai yang diharapkan. Penyuluhan mengenai anti
narkoba dan korupsi sudah sering dilakukan dalam rangka mencegah siswa-siswa
terjerumus ke dalam budak narkoba ataupun menjadi pejabat yang korupsi di masa
depan. Sementara untuk penyuluhan mengenai dampak seks bebas dan LGBT belum
dilakukan secara masif di sekolah. Pemerintah juga sebaiknya menggencarkan
penyuluhan terkait agar siswa mengetahui dampak yang akan dirasakan oleh
individu, keluarga dan negara apabila seks bebas dan LGBT dibiarkan.
Ada ungkapan yang kita
percayai yaitu ibu adalah sekolah pertama bagi anaknya. Banyak literatur yang
menunjukkan bahwa karakter ibu akan mempengaruhi masa depan anak. Percaya atau
tidak, masa depan anak-anak bahkan sebenarnya telah ditentukan sejak dalam
kandungan. Karena pendidikan ibu sudah dilakukan sejak anak masih dalam
kandungan. Sejak saat itu kedekatan fisik dan emosional ibu dengan anaknya
sudah terjalin secara alamiah. Banyak para ahli yang berpendapat bahwa
kedekatan fisik dan emosional seorang ibu pada anaknya merupakan salah satu
aspek penting keberhasilan pendidikan. Di sinilah peran penting seorang ibu
terhadap pendidikan usia dini. Anak dengan cepat menirukan dan belajar dari apa
yang dilihat, didengar dan dirasakan. Oleh karena itu peran ibu dalam mencegah
anak berbuat perilaku menyimpang sangat penting. Ibu lah yang dapat menasehati,
membimbing, dan mendidik anak-anaknya agar tidak terjerumus kepada maksiyat.
Sayangnya, masih banyak kaum ibu yang belum menghayati peran pentingnya dalam
mencetak peradaban. Mayoritas ibu yang memilih untuk berkarir biasanya rela
menitipkan anaknya di bawah asuhan pembantu rumah tangga (PRT) ataupun saudara
kerabat. Padahal belum tentu orang lain dapat menggantikan peran ibu kandung.
Edukasi pra nikah terhadap peran penting ibu hendaknya didapatkan oleh setiap
pasangan yang akan menikah agar calon orang tua dapat memprioritaskan
pendidikan anak nya.
Dua point penting di atas
yaitu pendidikan dan peran orang tua khususnya ibu adalah salh satu dari sekian
banyak hal yang dapat kita upayakan untuk mencegah kasus LGBT terjadi
dilingkungan sekitar kita. Menunggu produk hukum untuk mengkriminalkan pelaku
LGBT dan seks bebas agar pelakunya jera tentu tidak dapat dilakukan dalam waktu
singkat karena rangkaian pembentukan UU sangat panjang. Mahasiswa sebagai agent of control hendaknya mendesak pemerintah khususnya DPR
dan Presiden agar segera mengeluarkan aturan yang lugas dan jelas untuk kasus
LGBT. Kemudian sebagai agent of change mulailah
mengkampanyekan penolakan terhadap perilaku seks bebas dan LGBT serta mendidik
rakyat akan akibat dari pembiarannya. Korban dari seks bebas dan LGBT
seringkali akibat ketidaktahuan mereka terhadap bahaya yang menunggu yaitu
HIV/AIDS dan rusaknya moral anak bangsa. Pesan terakhir yang ingin penulis sampaikan
untuk seluruh mahasiswa adalah tidak ada kebebasan tanpa aturan yang mengikat.
Karena kebebasan yang sebebas-bebasnya akan melanggar kebebasan salah satu
pihak. Pihak-pihak yang mengatakan LGBT dan seks bebas adalah HAM maka perlu
dipertanyakan bagaimana dengan HAM dari orang-orang yang terkena bahaya
perilaku seks menyimpang sementara mereka adalah korban? Tak hanya HIV/AIDS
namun juga murka Tuhan YME akan dijatuhkan pada kaum yang membiarkan dosa
bergelimang disekitarnya.
http://www.panjimas.com/news/2017/12/20/prof-dr-euis-sunarti-permohonan-kami-seharusnya-diterima-mk/
Komentar
Posting Komentar
Komentarlah dengan hal-hal yang positif :D